Nasi Kucing & Nasi Anjing, Sebuah Kontroversi

Nasi Anjing

Kali ini penulis mencoba memahami kontroversi yang saat ini ramai di dunia maya, yaitu tentang nasi anjing. Ketika sebuah organisasi membagi-bagikan secara gratis makanan berupa sebungkus nasi dengan stempel bergambar anjing, maka mulailah aksi tersebut mendulang kontroversi di dunia maya. Bukan maksud menjustifikasi apapun atau siapapun dalam kontroversi ini, penulis hanya ingin mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

Etimologi Nasi Anjing. Kita pahami dulu awal mula munculnya istilah nasi anjing ini. Ketika mulai ramai diperbincangkan sampai akhirnya menjadi viral, dan kemudian dikonfirmasi kepada organisasi yang bersangkutan, berikut inti sari jawabannya:

  • Diberi nama nasi anjing karena porsinya lebih besar dari nasi kucing.
  • Isinya terbuat dari bahan yang halal, yaitu cumi, sosis sapi dan teri.

Banyak alasan lain yang dikemukakan untuk menjustifikasi, namun karena memang sulit diterima masyarakat, maka berujung dengan permohonan maaf dari yang bersangkutan. Sesederhana itukah? Sekarang mari kita coba pahami mengapa hal ini sampai menimbulkan keresahan di masyarakat.

Sebuah kata atau frasa bisa memiliki maka denotatif dan makna konotatif. Meja hijau tidak hanya memiliki makna denotatif “meja yang berwarna hijau”, namun juga memiliki makna konotatif “proses persidangan”. Kalau kita menyebut nasi ayam, makna denotatif-nya adalah nasi yang berisi lauk berupa daging ayam. Daging bisa berupa apa saja, dari daging ayam, sapi maupun kambing. Tapi kalau kita menyebut nasi daging, maka maknanya adalah nasi yang berisi lauk berupa daging sapi. Kalau di dalamnya terdapat lauk daging kambing, maka kita akan menyebutnya nasi kambing.

Nasi Kucing

Makna konotatif biasanya dibangun dalam jangka waktu yang cukup panjang dan berulang-ulang. Seperti istilah nasi kucing yang menunjukkan pada makanan khas daerah Yogyakarta dan sekitarnya yang berupa nasi bungkus dengan porsi yang sedikit, dengan lauk yang secukupnya seperti ikan teri, tempe dan sambal dan dibungkus dengan daun pisang dan kertas.

Tanpa konteks yang dibangun, maka makna yang muncul dari nasi kucing dapat menimbulkan beberapa arti antara lain:

  1. Nasi kucing adalah nasi yang dibuat dengan lauk berupa daging kucing. Makna pertama ini tidak terbangun karena daging kucing tidak lazim untuk diolah sebagai lauk.
  2. Nasi kucing adalah nasi yang dibuat dan ditujukan untuk makanan kucing. Makna kedua ini terbangun dengan konteks kelakar bukan dari sudut pandang penjual, melainkan dari sudut pandang pembeli, yaitu “seperti makanan untuk kucing karena porsinya sedikit sekali, sehingga makan satu bungkus saja tidak kenyang”. Dalam konteks kelakar ini, tidak ada satu pihak pun yang tersinggung karena maksudnya bukan untuk merendahkan martabat manusia dengan makan makanan untuk kucing.
Nasi Sadukan
Sate Lalat

Makna nasi kucing ini mungkin bisa disamakan dengan makna nasi sadukan asal Jombang, karena porsinya sedikit maka akan habis dalam sekali tendangan (“bahasa jawa: sadukan”). Sama juga dengan makanan yang disebut sate laler / sate lalat asal Madura, bukan sate yang dibuat dari daging lalat melainkan dari daging ayam atau kambing yang porsi irisannya sangat kecil sehingga seperti lalat.

Tanpa konteks yang dibangun, makna yang muncul dari nasi anjing pun dapat menimbulkan beberapa arti, yaitu:

  1. Nasi anjing adalah nasi yang dibuat dengan lauk berupa daging anjing. Ini makna yang berbahaya dan mungkin bisa terbangun dengan sempurna, karena beberapa orang menyukai daging anjing sebagai makanan. Sementara bagi umat muslim, binatang anjing adalah binatang yang terkena air liurnya pun sudah najis dan dagingnya pun menjadi haram untuk dimakan.
  2. Nasi anjing adalah nasi yang dibuat dan ditujukan untuk makanan anjing. Ini makna yang beresiko mendulang kontroversi karena banyak juga orang yang memelihara anjing dan memberi makanan bukan dengan makanan khusus untuk hewan peliharaan, tapi makanan yang sama dengan pemeliharanya.
  3. Nasi anjing adalah nasi yang memiliki porsi lebih besar dari nasi kucing. Makna ketiga ini bisa saja dibangun dalam jangka waktu yang panjang dan berulang, sehingga menjadi awam ketika orang menyebut nasi anjing, maka artinya adalah nasi yang lebih banyak dari nasi kucing. Tanpa membangun konteks, maka makna pertama dan kedua yang memiliki kemungkinan besar terbangun dan dipersepsi oleh masyarakat, sehingga akhirnya menjadi kontroversi.

Nah, menurut pertimbangan penulis pribadi kalau memang berniat untuk membagikan nasi secara gratis dan berharap makanan tersebut bisa diterima oleh masyarakat, sebaiknya tidak menggunakan istilah, jargon atau pun label yang berpotensi mengundang kontroversi.